 |
| Alm. Ottys O Kambue dan Pdt.Dr.Siegfried Zollner |
Oleh : Pdt.Dr.Siegfried Zollner
Saya tidak ingat lagi, kapan saya bertemu pertama kali dengan
saudara Ottis Kambue?
Dalam arsip saya, ada sepucuk surat yang saya tulis dan kirimkan kepada
Ottis di bulan Agustus tahun 1999. Waktu itu Ottis sudah kuliah di STIE Otto
Geisler (Sekarang: Universitas Ottow Geissler). Mungkin di tahun 1998 atau 1997
saya bertemu Ottis untuk pertama kalinya.
Pada waktu itu saya berkunjung ke Papua dalam rangka
perjalanan dinas untuk bertemu para penerima beasiswa dari United Evangelical
Mission (UEM) Jerman di Indonesia.
Pada satu hari di Jayapura, saya mengemudi mobil saya ke
Kotaraja untuk berkunjung ke keluarga pendeta Abraham Abisay yang menjadi Ketua
Asrama STIE OG waktu itu. Saya sudah lama berkenalan dengan beliau sejak dia
menjadi vikaris di Polimo (Kurima) dan di Angguruk. Sewaktu beliau bertugas
selama empat tahun di Jerman, kami selalu bertemu.
Waktu saya bertamu di rumah keluarga Abisay, muncul-lah
seorang pemuda yang memperkenalkan dirinya: ”Saya seorang Angguruk. Nama saya Ottis Kambue,
saya baru masuk Asrama STIE OG”. Pendeta
Abisay terkejut: ”Engkau betul dari
Angguruk? Saya pikir nama Kambue berasal
dari Sorong! Saya harus memberikan kamar lebih dekat dengan anak-anak gunung!”
katanya. ”Betul, saya sudah mengenal Bapak Pendeta waktu Bapak vikaris di
Angguruk!” kata Ottis. ”Saya membantu Bapak di Sekolah Minggu Angguruk!” Sejak
itu hubungan saya dengan Ottis tidak lagi putus.
Ottis menceritakan kepada saya bahwa dia lahir dan dibesarkan
di kampung Piniyi sebagai anak dari Simeon Kambue. Simeon kemudian dipanggil
untuk menjadi penginjil di daerah Kosarek, dan keluarganya, termasuk Ottis
berpindah ke Kosarek. Bapaknya Simeon menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yali
dan bahasa Mek, karena itu beliau sangat cocok untuk melayani di Kosarek.
Tetapi karena harus bersekolah, Ottis terpaksa pindah kembali ke Angguruk dan
tinggal beberapa tahun lamanya disana.
Memang Ottis menerima beasiswa dari Schwelm. Setelah Ottis
dan saya berkenalan di asrama STIE OG, setiap kali saya ke Papua, kami mencari
kesempatan untuk bertemu. Saya teringat sekali bahwa satu kali kami bertemu
dengan semua penerima beasiswa dari Schwelm ke Depapre, Jayapura dan mengadakan
ibadah. Dalam ibadah waktu itu, Ottis bermain gitar.
Di tahun 2004, kami kembali bertemu di Wamena. Kali ini
berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, dimana Ottis sedang berkampanye
sebagai calon anggota (Caleg) DPR untuk Kabupaten Yahukimo. Dia menjadi calon
dari Partai PIB, dan akhirnya dia terpilih. Terutama masyarakat Kosarek yang
memilih dia, karena mereka mempercayai dia sebagai anak daerah yang akan
memperjuangkan masa depan mereka.
Pada satu hari, Ottis mengundang saya berjalan sekeliling
Wamena. ”Mari Bapak, saya ingin menunjuk sesuatu kepada Bapak!” Kami pergi
dengan mobil ke arah barat, dan kami melewati markas Batalyon yang baru
didirikan di Wamena. ”Bapak, baca tulisan yang tertulis disitu!” kata Ottis.
Saya membaca tulisan di depan markas ”WIM ANE SILI” (Tempat jeritan perang).
Setiap orang Dani yang lewat di situ, pasti merasa takut melihat tulisan dan
tempat ini.
Di tahun 2006, Ottis pergi ke Jerman. Biaya perjalanan
ditanggungmya sendiri, dan bersama dengan satu anggota dewan lain. Mereka juga
membiayai perjalanan Natan Pahabol, koordinator Beasiswa Schwelm. Setelah
kembali dari Jerman, Ottis menulis dan mempersiapkan satu majalah kecil dengan
kesan-kesan perjalanan dan menyebarkannya di klasis-klasis mitra Schwelm di
Papua. Barangkali majalah ini boleh disebut sebagai ”Majalah Kemitraan
Pertama”.
Sebagai anggota dewan, Ottis memperjuangkan satu kabupaten
baru, yaitu YALIMEK. Ottis menyadari bahwa dengan pembentukan Kabupaten
Yahukimo pada 2004, beberapa daerah di
daerah sebelah timur dari Wamena sangat dirugikan.
Pusat pemerintahan untuk Kurima, Angguruk, Kosarek dan
beberapa daerah lain di sebelah utara pegunungan yang tadinya di Wamena
dipindahkan ke kota Dekai (Yahukimo) yang jauh ke selatan. Pegawai-pegawai
pemerintah yang dulu bisa dengan cepat datang ke Wamena untuk urusan
dinas, sekarang harus berjalan kaki ke
Wamena baru memakai pesawat. Sering juga mereka memakai pesawat ke Jayapura dan
dari Jayapura ke Dekai.
Pemekaran bukan menjadi solusi mempercepat pembangunan,
tetapi malah menjadi penghalang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat!
Sangat masuk akal bahwa penduduk di daerah-daerah pemekaran seperti Angguruk
dan Kosarek tidak puas, karena itu menuntut agar daerah mereka menjadi
kabupatan sendiri (Dimekarkan). Saya bisa mengerti Ottis dan teman-teman yang
memperjuangkan pemekaran lagi.
Sebenarnya, pemekaran di Papua dari 2004 sampai dengan 2014
merupakan satu kerugian besar untuk perkembangan di Papua, khususnya untuk
daerah-daerah pedalaman. Sistem dan sarana pendidikan hancur, pelayanan
kesehatan hancur, birokrasi berkembang seperti penyakit kanker dan menelan dana
dan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan di banyak
tempat lain. Generasi muda di tahun 2004-2014, terutama anak sekolah adalah
generasi terhilang, atau ”a lost generation.”
Pasti Ottis menyadari bahwa pemekaran bukanlah solusi untuk
kesejahteraan masyarakat, tetapi ia tetap berjuang. Ia tidak berhasil. Karena
akhirnya Pemerintah di Jakarta menyadari bahwa dengan pemekaran, mereka tidak
berhasil mencapai kemajuaan di Papua melainkan membuka jalan untuk melakukan
berbagai cara agar bisa korupsi.
Beberapa tahun lamanya,
saya tidak bertemu lagi dengan Ottis. Dua tahun lalu, saya berdiri di
depan MAF Sentani dengan beberapa teman. Tiba-tiba satu orang beri salam kepada
saya dan berkata: ”Bapak tidak lagi kenal saya? Saya Ottis!” Kami berpelukan.
Betul, Ottis tidak lagi seperti siswa 20 tahun lalu yang saya jumpai di Asrama
STIE OG. Badannya sekarang bertambah besar, rambutnya afrilook. Tidak lagi naik
gunung dan turun lembah, mungkin hanya naik mobil saja. Tidak lagi makan
betatas dan sayur asli, melainkan makanan di restauran atau di pinggir jalan di
kota. Akibatnya tidak sehat. Tekanan darah tinggi dan berbagai gangguan
kesehatan lain.
Saya sangat sedih dan berdukacita, waktu membaca
berita duka atas meninggalnya Ottis Kambue. Satu anak-ku yang terkasih pergi
dipanggil Tuhan. Tuhan, KehendakMu Terjadilah. (***)